Minggu, 10 Mei 2009

Rabu, 18 Maret 2009

Abu Nawas, Koja Nasruddin, Si Kabayan

Itulah sebabnya karakter Si Kabayan Itu paradoks. Pada suatu ketika ia bisa sangat bodoh, tidak bisa membedakan mayat dan orang hidup. Pada ketika lain dia amat cerdas sehingga dapat menyadarkan mertuanya mengakui kesalahannya. Ada kemungkinan bahwa tokoh Si Kabayan merupakan campuran dari cerita-cerita si bodoh dan si cerdas. Teman-teman bodohnya terdapat di berbagai suku di Indonesia yang dikenal sebagai Si Pandir, Joko Bodo, dan Ama ni Pandir di Batak, sedangkan tokoh cerdasnya ada di Melayu, yaitu Si Luncai.
SI Kabayan ternyata punya saudara-saudara tua di dunia Arab, yaitu tokoh sufi Abu Nawas, Koja Nasruddin, dan Junayd. Ketiga tokoh "Arab" ini menampilkan diri sebagai sosok yang cerdas dan bodoh yang menimbulkan efek humor. Begitu pula Si Kabayan yang dilahirkan di daerah Banten.
Dan Si Kabayan berkarakter dua-duanya. Jadi, Si Kabayan itu gabungan dari Abu Nawas dan Koja Nasruddin... Si Kabayan itu pemalas, suka makan enak, suka sekali tidur, banyak menganggur, miskin, dan jarang bersosialisasi. Watak yang kurang terpuji di zaman modern ini. Tampaknya, itu sengaja digambarkan demikian oleh para pengarang ceritanya. Si Kabayan adalah gambaran seorang pengikut tarekat terutama yang sudah mencapai tingkat sufi. Seorang sufi itu memilih hidup miskin daripada kaya, hina daripada mulia (penganggur dan penidur), menjauhi pergaulan, lapar daripada kenyang (Kabayan suka makan enak), "mati" daripada hidup (kudu bisa paéh saméméh paéh), "bodoh" daripada pintar.
Cerita-cerita Si Kabayan sendiri juga bersifat paradoks. Dari satu sisi cerita Kabayan itu lucu dan mengggelikan, tetapi cerita yang sama memiliki sisi sebaliknya, yakni menyedihkan. Seorang sufi di Timur Tengah abad 9 menyatakan bahwa "kalau kamu mengetahui apa yang saya ketahui, engkau akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis". Dunia ini fana, dan carilah yang baka. Jadi, Kabayan dan cerita-ceritanya paradoks, seperti sufisme itu sendiri, penuh pikiran dan peristiwa paradoks. Dengan demikian, cerita-cerita Si Kabayan bukan sembarangan. Cerita-cerita "dongeng" itu sufistik dan pantas disejajarkan dengan cerita para pendahulunya, Abu Nawas dan Koja Nasruddin. Snouck Hurgronje pernah mengumpulkan 121 cerita Si Kabayan yang 80 di antaranya diangkat sebagai disertasi oleh Lina Maria Coster-Wijaman pada tahun 1929. Kumpulan cerita Si Kabayan tak kalah banyak dengan Koja Nasruddin dan Abu Nawas. Amat disayangkan bahwa cerita-cerita Si Kabayan bahkan tak dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Moral cerita ini adalah bahwa ada hal-hal yang tak mungkin diketahui oleh manusia, dan kita tak usah mencoba memasukinya. Dalam Si Kabayan, cerita ala Abu Nawas ini lebih kaya. Kabayan diminta "musuh abadinya" Ki Silah untuk menghitung bintang. Si Kabayan menyuruh Ki Silah untuk menghitung bulu kambing. Lalu Kabayan disuruh mengikat tangannya dengan air. Kabayan mau membuat tali dari air dulu, dan Ki Silah yang harus menyediakan tali itu.
Seperti Nasrudin, Si Kabayan juga memandang mimpi sebagai realitas. Cerita Si Kabayan kadang-kadang jorok-pornografis. Ketika Kabayan sedang memandikan kerbaunya, ia diintip oleh istrinya sedang menyetubuhi kerbaunya. Istrinya marah dan membawa pulang pakaian Kabayan. Ketika Kabayan pulang menggiring kerbaunya, datang rombongan lurah mengadakan gotong royong memotong pohon-pohon bambu. Kabayan bertanya, "Mengapa ramai-ramai itu?" Kata istrinya, "Pak lurah mencari orang yang menyetubuhi kerbau." Kabayan langsung sembunyi di rumpun bambu.
Pertobatan Kabayan semacam itu banyak dijumpai di berbagai cerita. Cerita-cerita Si Kabayan bukan hanya berhenti di tingkat tarekat, tetapi juga memasuki tingkat hakikat. Salah satu ceritanya begini. Kabayan menjumpai mayat seorang cantik di pinggir jalan. Dikiranya perempuan cantik itu naksir padanya karena tersenyum dan terus-menerus menatap Si Kabayan ke mana pun Kabayan berposisi. Ketika Kabayan mau menciumnya, bau tak sedap tercium. Ia mengira perempuan itu kurang minyak wangi. Maka Kabayan pergi ke majikan perempuannya dan minta sedikit minyak wangi. Ketika majikannya bertanya untuk apa, tahulah majikan itu bahwa yang dijumpai Kabayan adalah mayat.
Tokohnya Si Kabayan yang bodoh secara spiritual, dan cerdas-cerdik secara manusia. Pesan cerita Si Kabayan universal karena mistisisme memang universal. Hanya cara mengungkapkannya secara Sunda. Saya kira cerita-cerita Si Kabayan pantas disejajarkan dengan Abu Nawas (cerita kepintarannya) dan Koja Nasruddin (cerita kebodohannya).

Abu Nawas - Yang Lebih Kaya Dan Mencintai Fitnah

Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat menyampaikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung.


Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato, “Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid.”“Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah.”“Tenang….tenang…..tenang saudara. Masih ada lagi.”“Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah.”“Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?”“Benar baginda.”“Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?”“Maaf, Baginda. Itu benar adanya,” jawab Abu Nawas tenang.“Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi.”“Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu.” Abu Nawas memohon dengan wajah yang memelas.“Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu.”“Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?”“Dasar. Si Abu Nawas.”“Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?”“Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?”“Lalu, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang tidak paham perkataanmu bisa marah.”“Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda.”“Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?”“Hmmmm….Yah…biar dikasih hadiah, Baginda,” ucap Abu Nawas lirih.

Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu-nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.


Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.


Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.


Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid.

Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya.


Makin geramlah Harun Al Rasyid.







Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati.



Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala.




Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.

ABU NAWAS DI BIARA

Suatu kala abunawas berkelana mengelilingi dunia, dan tibalah ia di suatu kota yang tidak ada penduduk laki-lakinya. Karena hari sudah malam dan tidak ada satupun penginapan yang mau menerimanya, maka dengan sangat terpaksa akhirnya ia menumpang bermalam disebuah biara yang semuanya wanita. Pada awalnya sang pemimpin biara menolak kehadiran abunawas tersebut, tapi karena rasa kemanusiaan akhirnya abunawas diperbolehkan menginap hanya satu malam dengan syarat harus hati2 jangan sampai ketahuan oleh biarawati2 yang lain dan ia harus tidur digudang penyimpanan makanan.
Akhirnya ia pun tidur digudang dengan segala perbekalan yang ia bawa. Karena sudah 5 hari tidak mandi abunawas merasa bau badannya seperti bau terasi, dan ia pun nekat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Abunawas pun pergi kekamar mandi dengan langkah yg sangat hati2 sekali. Ketika abunawas hendak gosok gigi tiba2 seorang biarawati yang sangat cantik dan sangat lugu masuk kekamar mandi, abunawas pun tersentak kaget, ia langsung mengangkat kedua tangannya dan diam seperti patung. Dengan rasa keheranan biarawati itupun memegang-megang abunawas yang menyerupai patung tersebut. Dalam hatinya patung apa ya ini??? Kenapa kepala biara naruh disini ya??? Apa ini yang namanya dewa penjaga kamar mandi ya???
Pada puncak keheranannya biarawati tersebut melepas handuk yang menutupi sebagian tubuh abunawas. Ia kaget setengah mati karena burungnya abunawas tiba2 bangun, lalu dipegang-peganglah anunya abunawas tersebut. Karena tidak tahan dgn rasa yang sulit dibayangkan itu, tiba2 sikat gigi yang dipegangnya itu jatuh. Dengan perasaan aneh bercampur senang biarawati itu menatap si abunawas dan iapun berkata "oh dewa engkau memang mengerti kebutuhanku, engkau memberiku sikat gigi disaat sikat gigi punyaku rusak. Terima kasih dewa.. terima kasih 3x". Biarawati tiu segera keluar dari kamar mandi dan menceritakan seluruh kejadian kepada salah satu kawannya. Dengan rasa tidak percaya maka biarawati keduapun segera masuk kekamar mandi. Didalam kamar mandi abunawas yg hendak melanjutkan menyikat gigi walaupun tanpa sikat gigi (pake tangan, red) kembali kaget dengan masuknya biarawati yg lain, dan iapun kembali mematung seperti semula. Biarawati yg ini tanpa basa-basi langsung mememgang anunya si abunawas seperti anjuran temannya tsb. Hampir sama dengan kejadian pertama, karena tidak tahan dengan rasa yg super enak tersebut maka kali ini odol siabunawas jatuh. Sang biarawati itupun merasa kegirangan dan langsung menyembah-nyembah si abunawas, sambil berkata "terima kasih dewa..terima kasih.. Dewa tau aja odol saya sudah abis. Terima kasih 3x", lalu iapun segera keluar dari kamar mandi tersebut. Tanpa sengaja hal tersebut telah diketahui oleh biarawati lain yang terkenal paling iseng. Iapun langsung masuk kekamar mandi dan langsung melakukan seperti apa yang dilihatnya barusan. Karena sudah tidak pegang apa2, abunawas pun hanya bisa menahan rasa geli yg super dahsyat itu. Lama kelamaan biarawati terakhir rupanya jengkel juga, karena sudah lama ia pegang2 kok tidak dikasih apa2. Dengan rasa kesalnya maka iapun mengocok anunya siabunawas, dan karena sudah tidak tahan lagi maka abunawaspun melepaskan tembakan yang sudah lama ia tahan2 dari tadi. Crot..crot..crot..kena mukanya biarawati tersebut.
Tapi sungguh heran tiba2 biarawati itu loncat kegirangan, sambil berkata "hore..hore..gue dapet shampo..gue dapet shampo"....

POLITIK ABUNAWAS

Siapapun pernah mendengar nama Abu Nawas. Seorang tokoh cerdik yang syarat dengan cerita-cerita lucu yang seakan tidak pernah habis. Perseteruannya dengan Sultan dapat dimenangkannya dengan berbagai macam cara atau daya upaya, sehingga ia terselamat dari ancaman hukuman penjara atau hukuman mati dari Sultan. Abu Nawas yang lebih terkenal sebagai seorang humoris itu lahir dengan nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami di Ahwaz Persia pada tahun 735 dan meninggal di Baghdad tahun 810. Ia adalah sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi yang menjadi khalifah pada dinasti Abasiyah tahu 786-809.

Di zaman hidup Abu Nawas tentu tak dikenal namanya pemilu atau pilkada. Tapi kecerdikan para Partai dalam pemilu/pilkada yang penuh kelihaian bermain kata telah membuat para pengamat politik harus menambah literatur ilmu Abu Nawas . Barulah bisa ianya bisa meramal dengan tepat siapa yang akan diusung atau dimainkan oleh Partai tersebut.

Kejadian itu bila kita tarik sebab musabnya tak lain karena banyak diantara mereka menggunakan Teori Politik Abu Nawas. Baik Partai maupun calon mempunyai trik-trik dan intrik-intrik yang bisa menjadi alasan mengapa mereka berbuat demikian. Selalunya dengan mudah mereka membuat alasan dan dengan mudah pula mereka meninggalkan kesan dari akibat mereka memberikan alasan itu. Cara memberi alasan ini atau jawaban klarifikasi mereka itu seperti cerita Abu Nawas berikut ini.

Pada suatu hari Abu Nawas kehilangan segepok koin-koin kesayangannya di gudang belakang rumahnya, namun anehnya ia justru mencari-carinya di halaman depan rumahnya. Seorang tetangganya yang ingin tahu ingin membantunya, lalu bertanya, kepada Abu Nawas; ”Seingatmu dimana kamu kehilangan koin-koin itu? Jawab Abu Nawas : ”Di gudang belakang rumah”. ”Lho kalau di gudang belakang, mengapa mencarinya di halaman depan? ” Maka dengan enteng Abu Nawas menjawab dengan muka tanpa dosa : ”Di gudang belakang gelap, disinikan terang....”

MEMBANGUN ISTANA DI AWANG - AWANG

Abu Nawas belum kembali. Kata istrinya ia bersama seorang Pendeta dan seorang Ahli Yoga sedang melakukan pengembaraan suci. Padahal saat ini Baginda amat membutuhkan bantuan Abu Nawas. Beberapa hari terakhir ini Baginda merencanakan membangun istana di awang-awang. Karena sebagian dari raja-raja negeri sahabat telah membangun bangunan-bangunan yang luar biasa.

Baginda tidak ingin menunggu Abu Nawas lebih lama lagi. Beliau mengutus beberapa orang kepercayaanya untuk mencari Abu Nawas. Mereka tidak berhasil menemukan Abu Nawas kerena Abu Nawas temyata sudah berada di rumah ketika mereka baru berangkat.

Abu Nawas menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Baginda amat riang. Saking gembiranya beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar menukar cerita-cerita lucu, lalu Baginda mulai mengutarakan rencananya.

"Aku sangat ingin membangun istana di awang-awang agar aku lebih terkenal di antara raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginanku itu terwujud, wahai Abu Nawas?"
"Tidak ada yang tidak mungkin diiakukan di dunia ini Paduka yang mulia." kata Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.
"Kalau menurut pendapatmu hal itu tidak mustahil diwujudkan maka aku serahkan sepenuhnya tugas ini kepadamu." kata Baginda puas.

Abu Nawas terperanjat. Ia menyesal telah mengatakan kemungkinan mewujudkan istana di awang-awang. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Kata-kata yang telah terlanjur didengar oleh Baginda tidak mungkin ditarik kembali. Baginda memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tak ada yang lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang. Jangankan membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan.

Hanya Tuhan saja yang mampu melakukannya. Begitu gumam Abu Nawas. Hari-hari berlalu seperti biasa. Tak ada yang dikerjakan Abu Nawas kecuali memikirkan bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang dibangun itu benar-benar istana di langit. Seluruh ingatannya dikerahkan dan dihubung-hubungkan. Abu Nawas bahkan berusaha menjangkau masa kanak-kanaknya. Sampai ia ingat bahwa dulu ia pemah bermain layang-layang. Dan inilah yang membuat Abu Nawas girang. Abu Nawas tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Ia bersama beberapa kawannya merancang layang-layang raksasa berbentuk persegi empat. Setelah rampung baru Abu Nawas melukis pintu-pintu serta jendela-jendela dan ornamen-omamen lainnya. Ketika semuanya selesai Abu Nawas dan kawan-kawannya menerbangkan layang-layang raksasa itu dari suatu tempat yang dirahasiakan.

Begitu layang-layang raksasa berbentuk istana itu mengapung di angkasa, penduduk negeri gempar. Baginda Raja girang bukan kepalang. Benarkah Abu Nawas berhasil membangun istana di langit? Dengan tidak sabar beliau didampingi beberapa orang pengawal bergegas menemui Abu Nawas. Abu Nawas berkata dengan bangga.

"Paduka yang mulia, istana pesanan Paduka telah rampung."

"Engkau benar-benar hebat wahai Abu Nawas." kata Baginda memuji Abu Nawas.
"Terima kasih Baginda yang mulia." kata Abu Nawas.
"Lalu bagaimana caranya aku ke sana?" tanya Baginda.
"Dengan tambang, Paduka yang mulia." kata Abu Nawas.
"Kalau begitu siapkan tambang itu sekarang. Aku ingin segera melihat istanaku dari dekat." kata Baginda tidak sabar.
"Maafkan hamba Paduka yang mulia. Hamba kemarin lupa memasang tambang itu. Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun." kata Abu Nawas.
"Bagaimana dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun ke bumi?" tanya Baginda.
"Dengan menggunakan sayap Paduka yang mulia." kata Abu Nawas dengan bangga.
"Kalau begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa,terbang ke sana." kata Baginda. "Paduka yang mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi." kata Abu Nawas menjelaskan.

"Engkau berani mengatakan aku gila sepertimu?" tanya Baginda sambil melotot. "Ya, Baginda. Kurang lebih seperti itu." jawab Abu Nawas tangkas.

"Apa maksudmu?" tanya Baginda lagi. "Baginda tahu bahwa. membangun istana di awang-awang.adalah pekerjaan yang mustahil dilaksanakan. Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba mengerjkannya, sedangkan hamba tahu bahwa pekerjaan itu mustahil dikerjakan. Tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk akal itu." kata Abu Nawas berusaha meyakinkan Baginda.

Tanpa menoleh Baginda Raja kembali ke istana diiring para pengawalnya. Abu Nawas berdiri sendirian sambil memandang ke atas melihat istana terapung di awang-awang.

"Sebenarnya siapa diantara kita yang gila?" tanya Baginda mulai jengkel. "Hamba kira kita berdua sama-sama tidak waras Tuanku." jawab Abu Nawas tanpa ragu.

ABU NAWAS KETEMU KABAYAN

Pagi itu, waktu dimulainya seminar internasional matematika yang diadakan di salah satu universitas terkenal di Indonesia. Para pemakalahnya datang dari berbagai penjuru dunia. Matematikawan-matematikawan kelas dunia hadir di sana. Ada yang dari Amerika, Eropa, Timur tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Afrika, Australia, dan tentunya tuan rumah Indonesia. Tanpa mengurangi keseriusan jalannya seminar, Abu Nawas yang biasa dikenal sebagai ahli sastra yang terkenal kecerdikan dan kejenakaannya, yang berasal dari timur tengah turut diundang, agak aneh memang. Begitu pula Kabayan, tokoh legendaris lokal asli Jawa Barat yang terkenal lucu dan cerdik pun ikut berpartisipasi sebagai pemakalah dalam seminar tersebut. Saya juga sebagai peserta agak bertanya-tanya, apa yang mau disampaikan oleh kedua tokoh jenaka tersebut dalam seminar matematika kali ini? Padahal mereka itu, terkenal bukan karena matematikanya. Acara seminarpun dimulai. Mulai dari para pemakalah utama, dilanjutkan dengan pemakalah-pemakalah lain menyampaikan uraiannya. Saya sendiri, yang cuma peserta biasa yang tak begitu paham matematika tak mengerti dengan materi-materi yang disampaikan pemakalah-pemakalah tersebut. Cuma karena seminarnya di Indonesia, lokasinya dekat dengan tempat saya tinggal, makanya saya ikut jadi peserta. Seringkali saya mengangguk-anggukan kepala ketika para matematikawan itu berceramah. Mengangguknya saya bukan tanda mengerti, tapi karena mengantuk dan tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hingga acara sebelum makan siang, tak ada yang menarik perhatian saya. Semua pemakalah asyik dengan uraiannya masing-masing. Di saat acara makan siang, seperti biasa, dalam keadaan lapar saya langsung mengambil jatah saya, dan saya mencari tempat untuk segera menyantap makanan yang saya ambil. Kebetulan, dekat di tempat saya menyantap makanan, saya melihat Abu Nawas dan Kabayan sedang asyik ngobrol sambil menikmati makan siangnya. Sayapun hanya memperhatikan sambil mengunyah makanan saya. Sebenarnya ingin sih saya berkenalan dengan mereka, cuma saya segan. Mereka itu para pemakalah dan saya hanya peserta alias penonton saja. Jadinya, saya diam saja dan hanya menyimak (menguping) obrolan mereka. Sangat asyik mendengar obrolan mereka. Mereka saling berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman jenaka mereka. Dalam hati, saya tertawa tak tahan mendengar kelucuan-kelucuan cerita yang mereka obrolkan (cerita lucunya, persis seperti yang diceritakan di buku-buku cerita). Tapi, sengaja saya tahan untuk tetap tidak tertawa. Khawatir dikatakan gila oleh orang-orang di sekitar saya karena tertawa sendirian. Satu obrolan yang sangat aneh, dan sebelumnya tak pernah saya temukan di buku-buku cerita, adalah mereka mengobrol tentang matematika. Mungkin karena kali ini tentang seminar matematika kali ya? Makanya mereka juga ngobrol tentang matematika. Sayup-sayup terdengar, kira-kira begini obrolannya. **Kabayan** : “Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih?” **Abu Nawas** : “Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini?” **Kabayan** : “Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh....” **Abu Nawas** : “Oh begitu ya...? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana?” **Kabayan** : “Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja..., dengan cara saya, seperti yang diminta panitia.” **Abu Nawas**: “Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut?” **Kabayan** : “Ah, Abah Abu merendah saja....” **Abu Nawas**: “Serius! Saya benar-benar tidak bisa.” (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius) **Kabayan** : “Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan “dua tangan”. Tanda sama dengan berarti seimbang.” Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh. **Kabayan**: “Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka.” (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ). **Abu Nawas**: “Ya... ya ..., terus?” **Kabayan**: “Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2.” Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya.... **Kabayan**: “(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6.” Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini. **Abu Nawas**: “Saya mengerti, saya mengerti.... Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan?” **Kabayan**: “Ya benar.... Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja....” **Abu Nawas**: “Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti.” Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol. ....................................................................................... **Abu Nawas**: “Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang”, begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis. **Kabayan**: “Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu....” **Abu Nawas**: “Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya...?” **Kabayan**: “Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab. Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!” **Abu Nawas**: “Terus, masalahnya apa?” **Kabayan**: “Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, “Gitu aja kok repot.” Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah Abu menyelesaikannya?” **Abu Nawas**: “Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya....” Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut. **Abu Nawas**: “Hahaa.... Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi....” **Kabayan**: “Oh ya...? Bagaimana?” **Abu Nawas**: “Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan?” **Kabayan**: “Subhanallah, Alhamdulillah... benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu....” Saya pun berdecak kagum mendengar cara penyelesaian yang diutarakan Abu Nawas tersebut. Tiba-tiba.... Saya kaget, dan baru tersadar, ternyata saya sedang melamun. Hasil lamunan saya itu saya ketik, dan jadilah tulisan ini. Mudah-mudahan bermanfaat, semoga saja ya....

BAINA ABU NAWAS WA ABDUL KADIR JAELANI

BILA kita berada di Irak, khususnya di Kota Baghdad, tentu akan teringat kisah "Seribu Satu Malam". Selain itu, sebagian besar umat Islam pun akan ingat cerita Abu Nawas dan Syeikh Abdul Qadir Djaelani.


NAMA Jalan Abu Nawas cukup dikenal oleh kalangan pers ketika meliput perang Irak pada Maret-April 2003, karena jalan ini merupakan kawasan aman dan bisa menuju ke Hotel Palestina--pusat informasi--ataupun tempat penginapan lainnya yang dijaga ketat pasukan AS dan sekutunya. Pada masa damai, di sekitar Jln. Abu Nawas banyak terdapat pedagang kaki lima dan selalu ramai dikunjungi masyarakat.* Achmad Setiyaji/"PR" -
Soal nama yang terakhir, jelas itu sosok ulama yang disegani oleh kaum Muslimin. Bahkan, sampai-sampai sebagian Muslim di Indonesia dan di berbagai negara sering "mengirim" doa khusus untuk Syeikh Abdul Qadir Djaelani. Ya, itulah realitanya ada perbedaan antara (baina) Abu Nawas dan (wa) Abdul Qadir Djaelani.

Menurut mantan Kepala Perwakilan RI di Irak, H. Dahlan Abdul Hamied, ada hubungan emosional yang erat antara umat Islam Indonesia dengan Kota Baghdad dan masyarakatnya. Ini khususnya dengan sosok Syeikh Abdul Qadir Djaelani, yang makamnya terletak di Kota Baghdad.

"K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dulu kuliah di Baghdad, dan sering ziarah ke makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani. Beliau punya cerita khas tentang Baghdad, masyarakatnya, soal Abu Nawas, dan makamnya Syeikh Abdul Qadir Djaelani," tutur Dahlan kepada "PR", awal Ramadan lalu.

Diceritakannya, pada masa damai sebelum jatuhnya rezim Saddam Hussein, lokasi makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani ramai dikunjungi oleh umat Islam. Apalagi pada bulan suci Ramadan seperti sekarang ini, biasanya masyarakat dari berbagai pelosok Irak datang ke makam tersebut.

"Saya yakin, pada saat Ramadan sekarang pun tak jauh berbeda. Ya, meski saat ini sedang dalam suasana perang," ungkap Dahlan.

Berdasarkan informasi yang diterimanya baru-baru ini, ungkap Dahlan, suasana Ramadan berlangsung semarak di Kota Baghdad maupun kota-kota lainnya di Irak. Kalau pun ada perbedaan, itu cenderung pada suasana di jalan-jalan raya seperti berseliwerannya pasukan penjajah AS dan sekutunya, serta polisi dan tentara Irak.

Meski begitu, para pedagang buah kurma khas Irak masih ramai berjualan di pinggir-pinggir jalan maupun di pasar-pasar kawasan Baghdad dan kota-kota besar lainnya di Irak. Demikian halnya saat buka puasa tiba, masyarakat setempat terlihat memenuhi beberapa kedai makanan dan minuman di sekitar Kota Baghdad.

"Suasana penjagaan ketat, menonjol di Zona Hijau yang jadi pusat kegiatan pemerintahan. Jalan Abu Nawas, dan Taman Abu Nawas di dekat Hotel Palestina yang menjadi tempat menginapnya mayoritas wartawan, kini sudah agak tertata dibandingkan ketika saat masuknya pasukan AS dan sekutunya Maret-April 2003," ujar Dahlan, yang berasal dari Garut Jabar ini.

* *

ENTAH kebetulan atau tidak, yang jelas Zona Hijau yang cukup dikenal--karena jadi pusat kegiatan pemerintahan Irak dan sering terjadi ledakan bom mobil--, letaknya tak berjauhan dengan sebuah jalan bernama Abu Nawas dan Taman Abu Nawas.

Ketika "PR" berada di jalan dan taman tersebut, sempat terlibat obrolan ringan dengan rekan wartawan televisi dan koran--yang sama-sama sedang meliput peperangan di Irak (2003)--soal dimanakah makamnya Abu Nawas. Benarkah Abu Nawas ada makamnya?

Karena, selama ini "PR" dan rekan-rekan pers hanya bertemu dengan sejumlah karya seni seperti patung, tugu, bangunan, dan jalan yang dibubuhkan nama Abu Nawas, serta cerita-cerita lucu yang diperankan Abu Nawas.

"Kalau makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani, itu jelas ada dan dapat kita saksikan. Tapi makam Abu Nawas, dan juga rekannya Si Bahlul, dimanakah keberadaannya," tanya seorang wartawan SCTV.

Alhasil, pada suatu hari--menjelang sore--"PR" dan rekan-rekan pers menelusuri lokasi makam yang disebut-sebut oleh warga Baghdad sebagai makamnya Abu Nawas dan Si Bahlul.

Saat itu, seorang mantan staf KBRI di Riyadh dan KBRI di Amman Yordania--yang juga lulusan Baghdad University--Drs. H. Budiwan sengaja mengantar "PR" dan rekan-rekan pers. Beberapa kali "PR" diajak oleh kuncen makam untuk berjalan berputar-putar lewat sela-sela makam, namun tak kunjung tiba di makam Abu Nawas. Betapa tidak, makam yang ditunjuk oleh kuncen adalah hanya sebuah gundukan tanah, tanpa ada batu nisan atau keterangan tertulis yang menyatakan di dalam tanah itu ada jasad Abu Nawas. Demikian halnya ketika "PR" minta ditunjukkan makamnya Si Bahlul--rekannya Abu Nawas--, ternyata sang kuncen tampak menudingkan jari telunjuk sekenanya saja ke arah makam-makam tua, sambil wajahnya tersenyum penuh makna.

Sang kuncen--yang sudah minta jasa uang mengantar kepada "PR" dan rekan-rekan pers--tampaknya cerdik. Ketika ditanyakan kapan dan dimanakah Abu Nawas meninggal, sang kuncen selalu mengalihkan obrolan ke cerita-cerita lucu Abu Nawas dan Si Bahlul.

Jadi, kalau begitu dimanakah sebenarnya makam Abu Nawas? Entahlah, mungkin rumput bergoyang yang dapat menjawabnya.(Achmad Setiyaji/"PR")***

ABU NAWAS DAN JERITAN-NYA

Suatu hari Sultan Harun Al’rashit merasa begitu boring. Kemudian, dia bertanya
Kepada Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"

"Abunawas" jawab Bendahara.

Sultan pun memanggil Abunawas n baginda bertitah: "Kalau kamu pandai, coba
buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf
'J'. kalau kamu bisa, kamu akan saya beri hadiah. tapi, kalau tidak, kamu akan kumasukkan ke dalam penjara selama 10 tahun.”
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng
juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu
jahe. "Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit
jajakan jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juminten jatuh
jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."
Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga. Juminten
jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo.
Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera
jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka
jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack
jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan
jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten. Jumat, Johny
jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten.
Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack
jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack
jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol... jeleekk.
"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack... Jantungnya Johny
jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny. Juni,
Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi jongosnya
Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan
Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."

Jumpalagi, jek...!!!
jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja...!!! judah...!!

ABU NAWAS BUNUH DIRI

Ketika masih muda, Abu Nawas pernah bekerja di sebuah perusahaan jasa jahit pakaian. Suatu hari majikannya datang membawa satu kendi madu dan karena kuatir madu itu diminum Abu Nawas, maka majikannya berbohong dengan berkata, “Abu, kendi ini berisi racun dan aku tidak mau kamu mati karena meminumnya!!!”

Sang majikan pun pergi keluar, pada saat itu Abu Nawas menjual sepotong pakaian, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli roti dan menghabiskan madu itu dengan rotinya.

Majikannya pun datang dan sadar bahwa pakaian yang dijualnya ternyata kurang satu sedangkan madu dalam kendi juga telah habis. Bertanyalah dia pada Abu Nawas, “Abu!!! Apa sebenarnya yang telah terjadi..?”.

Abu Nawas menjawab, “Maaf tuan, tadi ada seorang pencuri yang mencuri pakaian tuan, lalu karena aku takut akan dimarahi tuan, jadi aku putuskan untuk bunuh diri saja menggunakan racun dalam kendi itu…”.

· · · · · · · · · ·

Udah selesai ketawanya? Atau masih belum merasa lucu? Baca lagi humor yang lain:

* Bunuh Diri dengan Sehat
* Cara dan Style Cari Kenalan di Friendster
* Larangan Memakai Jilbab
* Dua Pesakit Jiwa
* Nama Saya Sentot

MEMBUAT CERITA BERAWALAN " J "

Abunawas dikasih assignment dari Sultan Baghdad membuat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf 'J'. Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juleha janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng Juleha jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu jahe.
"Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juleha jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juleha jatuh jumpalitan.

Jeng Juleha jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..." Juleha jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga. Juleha jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo. Jantungnya Jeng Juleha janda judes jadi jedag-jedug. Juleha janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juleha jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?" joke-nya johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juleha. "Jangan jealous, John..." jawab Juleha.

Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juleha. Juleha jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi Jontor juga jendol... jeleekk. "John, jangan jahilin Juleha...!" jerit Jack...Jantungnya Johny jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny.

Juni, Jack jadikan Johny join jualan jajanan jejer Juleha. Jhony jadi jongosnya Jack-Juleha, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."

Jumpalagi, jek...!!! jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja...!!! jusah...!!!

PERINGATAN ANEH

Suatu hari Abu Nawas dipanggil Baginda.

“Abu Nawas.” kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.

“Daulat Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas penuh takzim.

“Aku harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan untuk kupermainkan atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan bantuanmu.” kata Baginda bersungguh-sungguh.

“Gerangan apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?” tanya Abu Nawas.

“Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan kenegaraan dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu adalah sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung mengucapkan salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat kalian semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku menjawab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, ya­itu kalau mendapat salam dari orang yang tidak ber­agama Islam hendaklah engkau jawab dengan Wassamualaikum (Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung. Dia menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa keselamatan de­ngan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh aku tak bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya tidak berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak bisa menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap agama Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah dia berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik, tetapi sebalik­nya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku terima, kita akan tetap bersahabat.” kata Baginda menjelaskan dengan wajah yang amat murung.

“Kalau hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang dikehendaki rajaf sahabat Paduka itu yang mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan Baginda.

Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang menepuk pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana seketika itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.

“Cepat katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu.” kata Baginda tak sabar.

“Baginda yang mulia, memang sepantasnyalah ka­lau raja Yahudi itu menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda. Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan kesejahteraan (surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang Islam. Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja Yahudi sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Ya­hudi menganggap Uzair adalah anak Allah seperti or­ang Nasrani beranggapan Isa anak Allah. Maha Suci Allah dari segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak. Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka. Tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa mereka bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu, yaitu tuduhan mereka bahwa Al­lah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Abu Nawas menjelaskan.

Seketika itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking gembiranya Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa yang disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.

MANUSIA BERTELUR

Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.

Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang ter­kenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja be­serta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri,

“Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas.”

“Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?” tanya salah seorang menteri.

“Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita.” kata Baginda Raja memberi pengarahan. Bagin­da Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan apa yang akan digelar besok.

Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pe­ngarahan singkat tentang apa yang telah direncana­kan untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang waktu un­tuk berpikir.

Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, “Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami”

“Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?” tanya Abu Nawas belum mengerti.

“Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing.” kata Baginda sambil tersenyum.

“Hamba belum mengerti Baginda yang mulia.” kata Abu Nawas agak ketakutan.

“Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!” kata Baginda.

Abu Nawas tidak berkata apa-apa.Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah.

Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.

“Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing.” perintah Baginda Raja.

Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu derigan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.

Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.

Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.

“Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri.” kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.

“Kalau begitu engkau harus dihukum.” kata Baginda bangga.

“Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas memohon.

“Apalagi hai Abu Nawas.” kata Baginda tidak sabar.

“Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk…!” kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.

Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.

Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.

Memang Abu Nawas yang tampaknya blo’on itu se­benarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya.

oo000oo

Senin, 16 Februari 2009

KISAH ABU NAWAS

Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Nama Abu Nawas begitu populernya sehingga cerita-cerita yang mengandung humor banyak yang dinisbatkan berasal dari Abu Nawas.

Tokoh semacam Abu Nawas yang mampu mengatasi berbagai persoalan rumit dengan style humor atau bahkan humor politis temyata juga tidak hanya ada di negeri Baghdad. Kita mengenal Syekh Juha yang hampir sama piawainya dengan Abu Nawas juga Nasaruddin Hoja sang sufi yang lucu namun cerdas. Kita juga mengenal Kabayari di Jawa Barat yang konyol namun temyata juga cerdas.

Abu Nawas! Setelah mati pun masih bisa membuat orang tertawa. Di depan makamnya ada pintu gerbang yang terkunci dengan gembok besar sekali. Namun di kanan kiri pintu gerbang itu pagarnya bolong sehingga orang bisa leluasa masuk untuk berziarah ke makamnya. Apa maksudnya dia berbuat demikian. Mungkin itu adalah simbol watak Abu Nawas yang sepertinya tertutup namun sebenarnya terbuka, ada sesuatu yang misteri pada diri Abu Nawas, ia sepertinya bukan orang biasa, bahkan ada yang meyakini bahwa dari kesederhanaannya ia adalah seorang guru sufi namun ia tetap dekat dengan rakyat jelata bahkan konsis membela mereka yang lemah dan tertindas.

Begitu banyak cerita lain yang diadopsi menjadi Kisah Abu Nawas sehingga kadang-kadang cerita tersebut nggak masuk akal bahkan terlalu menyakitkan orang timur, saya curiga jangan-jangan cerita-cerita Abu Nawas yang sangat aneh itu sengaja diciptakan oleh kaum orientalis untuk menjelek-jelekkan masyarakat Islam. Karena itu membaca cerita Abu Nawas kita harus kritis dan waspada.