Rabu, 18 Maret 2009

BAINA ABU NAWAS WA ABDUL KADIR JAELANI

BILA kita berada di Irak, khususnya di Kota Baghdad, tentu akan teringat kisah "Seribu Satu Malam". Selain itu, sebagian besar umat Islam pun akan ingat cerita Abu Nawas dan Syeikh Abdul Qadir Djaelani.


NAMA Jalan Abu Nawas cukup dikenal oleh kalangan pers ketika meliput perang Irak pada Maret-April 2003, karena jalan ini merupakan kawasan aman dan bisa menuju ke Hotel Palestina--pusat informasi--ataupun tempat penginapan lainnya yang dijaga ketat pasukan AS dan sekutunya. Pada masa damai, di sekitar Jln. Abu Nawas banyak terdapat pedagang kaki lima dan selalu ramai dikunjungi masyarakat.* Achmad Setiyaji/"PR" -
Soal nama yang terakhir, jelas itu sosok ulama yang disegani oleh kaum Muslimin. Bahkan, sampai-sampai sebagian Muslim di Indonesia dan di berbagai negara sering "mengirim" doa khusus untuk Syeikh Abdul Qadir Djaelani. Ya, itulah realitanya ada perbedaan antara (baina) Abu Nawas dan (wa) Abdul Qadir Djaelani.

Menurut mantan Kepala Perwakilan RI di Irak, H. Dahlan Abdul Hamied, ada hubungan emosional yang erat antara umat Islam Indonesia dengan Kota Baghdad dan masyarakatnya. Ini khususnya dengan sosok Syeikh Abdul Qadir Djaelani, yang makamnya terletak di Kota Baghdad.

"K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dulu kuliah di Baghdad, dan sering ziarah ke makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani. Beliau punya cerita khas tentang Baghdad, masyarakatnya, soal Abu Nawas, dan makamnya Syeikh Abdul Qadir Djaelani," tutur Dahlan kepada "PR", awal Ramadan lalu.

Diceritakannya, pada masa damai sebelum jatuhnya rezim Saddam Hussein, lokasi makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani ramai dikunjungi oleh umat Islam. Apalagi pada bulan suci Ramadan seperti sekarang ini, biasanya masyarakat dari berbagai pelosok Irak datang ke makam tersebut.

"Saya yakin, pada saat Ramadan sekarang pun tak jauh berbeda. Ya, meski saat ini sedang dalam suasana perang," ungkap Dahlan.

Berdasarkan informasi yang diterimanya baru-baru ini, ungkap Dahlan, suasana Ramadan berlangsung semarak di Kota Baghdad maupun kota-kota lainnya di Irak. Kalau pun ada perbedaan, itu cenderung pada suasana di jalan-jalan raya seperti berseliwerannya pasukan penjajah AS dan sekutunya, serta polisi dan tentara Irak.

Meski begitu, para pedagang buah kurma khas Irak masih ramai berjualan di pinggir-pinggir jalan maupun di pasar-pasar kawasan Baghdad dan kota-kota besar lainnya di Irak. Demikian halnya saat buka puasa tiba, masyarakat setempat terlihat memenuhi beberapa kedai makanan dan minuman di sekitar Kota Baghdad.

"Suasana penjagaan ketat, menonjol di Zona Hijau yang jadi pusat kegiatan pemerintahan. Jalan Abu Nawas, dan Taman Abu Nawas di dekat Hotel Palestina yang menjadi tempat menginapnya mayoritas wartawan, kini sudah agak tertata dibandingkan ketika saat masuknya pasukan AS dan sekutunya Maret-April 2003," ujar Dahlan, yang berasal dari Garut Jabar ini.

* *

ENTAH kebetulan atau tidak, yang jelas Zona Hijau yang cukup dikenal--karena jadi pusat kegiatan pemerintahan Irak dan sering terjadi ledakan bom mobil--, letaknya tak berjauhan dengan sebuah jalan bernama Abu Nawas dan Taman Abu Nawas.

Ketika "PR" berada di jalan dan taman tersebut, sempat terlibat obrolan ringan dengan rekan wartawan televisi dan koran--yang sama-sama sedang meliput peperangan di Irak (2003)--soal dimanakah makamnya Abu Nawas. Benarkah Abu Nawas ada makamnya?

Karena, selama ini "PR" dan rekan-rekan pers hanya bertemu dengan sejumlah karya seni seperti patung, tugu, bangunan, dan jalan yang dibubuhkan nama Abu Nawas, serta cerita-cerita lucu yang diperankan Abu Nawas.

"Kalau makam Syeikh Abdul Qadir Djaelani, itu jelas ada dan dapat kita saksikan. Tapi makam Abu Nawas, dan juga rekannya Si Bahlul, dimanakah keberadaannya," tanya seorang wartawan SCTV.

Alhasil, pada suatu hari--menjelang sore--"PR" dan rekan-rekan pers menelusuri lokasi makam yang disebut-sebut oleh warga Baghdad sebagai makamnya Abu Nawas dan Si Bahlul.

Saat itu, seorang mantan staf KBRI di Riyadh dan KBRI di Amman Yordania--yang juga lulusan Baghdad University--Drs. H. Budiwan sengaja mengantar "PR" dan rekan-rekan pers. Beberapa kali "PR" diajak oleh kuncen makam untuk berjalan berputar-putar lewat sela-sela makam, namun tak kunjung tiba di makam Abu Nawas. Betapa tidak, makam yang ditunjuk oleh kuncen adalah hanya sebuah gundukan tanah, tanpa ada batu nisan atau keterangan tertulis yang menyatakan di dalam tanah itu ada jasad Abu Nawas. Demikian halnya ketika "PR" minta ditunjukkan makamnya Si Bahlul--rekannya Abu Nawas--, ternyata sang kuncen tampak menudingkan jari telunjuk sekenanya saja ke arah makam-makam tua, sambil wajahnya tersenyum penuh makna.

Sang kuncen--yang sudah minta jasa uang mengantar kepada "PR" dan rekan-rekan pers--tampaknya cerdik. Ketika ditanyakan kapan dan dimanakah Abu Nawas meninggal, sang kuncen selalu mengalihkan obrolan ke cerita-cerita lucu Abu Nawas dan Si Bahlul.

Jadi, kalau begitu dimanakah sebenarnya makam Abu Nawas? Entahlah, mungkin rumput bergoyang yang dapat menjawabnya.(Achmad Setiyaji/"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar